The Last Airbender: Dunia Membutuhkan Seorang Avatar
Saat pertama kali mendengar kabar bahwa serial kartun Avatar akan diangkat menjadi sebuah film, saya mengangkat alis sebelah. Kartun yang sempat mengisi hari-hari saya (terutama di pagi hari, sebelum saya berangkat kuliah) ini menjadi satu dari sederetan kartun yang menurut saya berkualitas. Tak banyak kartun yang menarik perhatian saya semenjak kemunculan kartun-kartun legendaris, seperti Saint Seiya, Candy Candy, Sailormoon, dan Remi. Tak banyak serial kartun yang memiliki “jiwa” dan “identitas” yang membuatnya unik dan unforgettable. Menurut saya, Avatar adalah salah satunya.
Saya tidak pernah bisa membayangkan jika Saint Seiya, Candy Candy, Sailormoon, dan Remi diangkat menjadi sebuah real-life-adventure movie. Jadi, saya sedikit pesimis ketika mendengar Avatar akan diangkat menjadi sebuah film nyata. Lalu, apakah “feeling” saya tersebut terbukti?
Sepanjang bulan Juli, saya tidak sabar menunggu pers screening film ini yang diadakan di akhir Juli. Apalagi, saat mengetahui bahwa kartun favorit saya tersebut digarap oleh M. Night Shyamalan, pencetak film box office berbau horor dan thriller, seperti Sixth Sense, Signs, The Village, The Happening, dan lain sebagainya. Banyak pikiran berkecamuk di kepala saya. Apa yang akan Shyamalan lakukan pada Avatar?
Sebagai informasi, Avatar adalah sebuah kartun berseri buatan Amerika yang menggunakan kebudayaan tradisional Asia, khususnya martial art. Aang adalah seorang biksu cilik yang merupakan reinkarnasi Avatar, yang akan terus terlahir kembali ke dunia untuk menjaga keseimbangan bumi. Hanya Avatarlah yang dapat menguasai empat elemen dunia, yaitu udara, air, bumi, dan api. Itulah sebabnya, kartun ini juga memilihi judul Avatar: The Legend of Aang. Semenjak perilisannya tahun 2005, Avatar mendapatkan respon positif di seluruh dunia, membuatnya diputar dan diterjemahkan ke dalam 120 negara dan bahasa.
Nah, untuk filmnya kali ini, Shyamalan hanya mengambil cerita musim pertama, saat Aang pertama kali ditemukan oleh dua remaja dari suku Air Selatan, Sokka (Jackson Rathbone) dan Katara (Nicola Peltz), dan proses pembelajarannya untuk menguasai elemen air. Cerita lain mengenai perjalanan tiga remaja tersebut akan dibagi ke dalam dua film berikutnya. Yap, Shyamalan berencana membuat trilogi!
Setelah menghilang selama satu abad, Aang kembali ke tempat tinggalnya dan menemukan bahwa kaumnya telah dibinasakan oleh suku dari Negara Api. Menyadari bahwa tidak bisa menolak takdirnya sebagai Avatar, ia pun mulai mempelajari tiap elemen untuk menyempurnakan ilmunya. Sebagai permulaan, ia memulainya dengan mempelajari elemen air. Aang, Sokka, dan Katara pergi ke Negara Air Utara untuk mencarikan guru terbaik bagi Aang yang akan mengajarkannya menjadi pengendali air. Aang harus berpacu dengan waktu sebelum pasukan dari Negara Api datang dan berusaha menangkapnya.
Berhasilkah Shyamalan memuaskan para penggemar fanatik Avatar? saya dan seorang teman—yang kebetulan juga pecinta Avatar—tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menilai film ini. Pada menit pertama, saya langsung tertunduk lesu mengetahui bahwa karakter Sokka, pemuda ekspresif nan konyol, diperankan oleh Jackson Rathbone, aktor tampan yang populer berkat kemunculannya di Twilight Saga. Di tangan Shyamalan, Sokka berubah drastis menjadi karakter yang serius dan sangat dewasa. Saya merasa Shyamalan melakukan pembunuhan terhadap karakter Sokka karena Sokka versi Shyamalan bukanlah Sokka yang sama seperti di serial kartun. Ini amat sangat disayangkan karena Sokka adalah salah satu karakter utama yang berpengaruh besar terhadap kehidupan Aang.
Melihat kegagalan pada peran Sokka, saya sempat ngeri membayangkan jika hal yang sama juga terjadi pada karakter Aang. Untungnya, Noah Ringer membawakan karakter Aang cukup baik, walaupun saya tidak habis pikir mengapa Shyamalan memberikannya porsi dialog paling sedikit dibandingkan seluruh pemain yang terlibat di film ini. Walau begitu, saya cukup terhibur dengan penampilan prima Ringer saat melakukan martial art. Atlet taekwondo ini berhasil menyajikan pertunjukan martial art yang indah, walaupun masih jauh dari kesan memukau. Good enough-lah untuk seorang pendatang baru di dunia film.
Satu hal yang membuat saya sedikit terhibur adalah visual effect yang cukup memuaskan walaupun tidak diimbangi dengan teknologi 3D yang prima (bahkan saya lebih menikmati sensasi 3D saat menyaksikan trailer Narnia: The Voyage of the Dawn Treader dan MegaMind yang “diselipkan” sebelum Avatar dimulai). Selama film berlangsung, saya bahkan dapat menyaksikan film ini tanpa menggunakan kacamata 3D. Mungkin Anda harus mempertimbangkan dengan matang sebelum memutuskan menyaksikan film ini dalam format 3D.
Secara keseluruhan, Avatar: The Last Airbender mengecewakan saya. Lebih tepatnya, Shyamalan mengecewakan saya dan seluruh pencinta serial kartun Avatar. Shyamalan “memoles” film ini di bagian yang tidak tepat dan menghilangkan banyak bagian penting yang justru menjadi ciri khas Avatar. Saya merindukan keceriaan Aang dan Sokka yang saya kira akan saya temukan di film ini. Shyamalan “berhasil” membuat Avatar yang dikenal sebagai kartun ceria penuh komedi menjadi sebuah film serius dan cenderung berat—yang memang menjadi keahliannya, memproduksi film thriller berbau horor.
Bagi saya, itu bukanlah sebuah prestasi.
Tanggal rilis:
31 July 2010 (midnight), 4 Agustus 2010 (seluruh studio)
Genre:
adventure/fantasy
Durasi:
103 menit
Sutradara:
M. Night Shyamalan
Pemain :
Noah Ringer, Nicola Peltz, Jackson Rathbone, Dev Patel, Shaun Taub, Aasif Mandvi, Cliff Curtis
Studio:
Paramount Pictures















