Bermain Game Sepakbola di PC Meningkatkan Agresivitas
Sepertinya kewaspadaan terhadap dampak game PC harus semakin ditingkatkan. Bulan lalu, seorang pria berumur 24 tahun bernama Tristan van der Vlis melemparkan tembakan membabi buta di sebuah shopping mall di Alphen aan den Rijn, 33 kilometer barat daya Kota Amsterdam. Setelah melakukan aksinya tersebut, Tristan menembak dirinya sendiri. Peristiwa tersebut memakan enam korban jiwa dan 17 orang luka-luka. Belakangan, diketahui bahwa tindakan agresif Tristan disebabkan game yang dimainkannya, Call of Duty: Modern Warfare 2.
Game PC berbau kekerasan memang mencemaskan banyak pihak karena efek yang ditimbulkannya jika dimainkan secara terus-menerus. Apalagi jika para pemainnya adalah anak-anak yang dengan mudah menyerap hal yang dialami atau dilihatnya dan mengaplikasikannya ke kehidupan nyata. Namun, tahukah Anda jika game se-sporty Winning Eleven dan game sepakbola lainnya justru menyulut reaksi agresi lebih tinggi ketimbang game yang jelas-jelas menawarkan kekerasan?
foto: veryculture
Dua psikolog dari Universitas Huddersfield, Inggris, Dr. Simon Goodson dan Sarah Pearson, menemukan bahwa game PC sepakbola menimbulkan reaksi fisikal dan emosional yang lebih besar ketimbang game PC action yang berbau kekerasan. Penelitian yang dipresentasikan di Konferensi Tahunan Komunitas Psikologi Inggris, Rabu (4/5), tersebut meneliti respon yang terjadi di dunia nyata atas sebuah peristiwa atau masalah, akan sama dengan respon yang timbul akibat bermain video games.
Sebanyak 40 pria dan wanita dipilih secara acak untuk memainkan game kekerasan atau game sepakbola. Pengukuran dilakukan berdasarkan denyut jantung, pernafasan, dan aktivitas otak sebelum dan selama bermain. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa terjadi aktivitas yang kecil saat partisipan melakukan pembunuhan di sebuah game. Namun, saat berhasil pemain berhasil mendapatkan gol atau melakukan pelanggaran (foul), level aktivitas otak pun meningkat tajam.
foto: nsider2
“Banyak yang mengkhawatirkan efek dari game action yang rentan dengan kekerasan di dalamnya dan kontribusi efek game tersebut di kehidupan nyata. Namun, dari penelitian ini terbukti bahwa ‘membunuh’ seseorang di sebuah video game tidaklah senyata berolahraga. Otak pun menyadari hal tersebut dan tidak akan memberikan reaksi yang sama,” ujar Dr. Goodson. “Kita semua tahu dan dapat merasakan euforia saat Inggris bermain di Piala Dunia. Perasaan kuat ini juga diproduksi saat seseorang bermain video game sepakbola.” Tambahnya, “Para pemain dapat mengidentifikasi kenyataan dan dengan mudah memunculkan emosi dan agresi lebih mudah ketimbang berada di dalam situasi yang tidak mungkin mereka temui, misalnya membunuh seseorang”. Selain pengalaman bermain sepakbola, reaksi serupa juga terjadi saat seseorang bermain game yang berhubungan dengan kegiatan menyetir dan rally liar, yang membuat pemain merasakan sensasi yang kemungkinan akan dirasakannya di kehidupan nyata.
Menurut Dr. Goodson, penelitian ini tidak terstruktur secara khusus untuk menunjukkan agresi sejenis itu dapat meluas ke kehidupan nyata. Penelitian ini juga tidak berlaku untuk mereka yang memiliki “masalah medis” yang akan bereaksi secara abnormal dalam intensitas tinggi terhadap game berbau kekerasan. “Temuan ini tidak dapat menjadi patokan bahwa konten kekerasan akan mengarah langsung ke permasalahan agresi. Sebuah penelitian lebih lanjut harus dilakukan untuk mengungkapkan aspek video game yang dapat menyebabkan respon agresif, “ ujar Dr. Goodson menutup presentasinya.
sumber: dailymail














