Apakah Anda termasuk 10% atau 90% Gamer Dunia?
Game memang harus diakui mulai bergeser menjadi salah satu media hiburan yang paling diminati masyarakat modern, selain film dan musik. Dengan perangkat pendukung yang semakin murah dari waktu ke waktu, akses terhadap permainan virtual ini semakin terbuka lebar. Apalagi developer dan publisher juga kini sedang giatnya melahirkan game berkualitas seiring persaingan yang semakin memanas. Apakah ini membuat gamer menjadi semakin berkembang? Mungkin secara kuantitas, namun secara kualitas? Tunggu dulu.
Jika pada masa lalu gamer selalu merasa memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan setiap game yang dibelinya, maka pada masa kini – komitmen dan konsistensi seperti ini mulai jarang ditemukan. Menurut Keith Fuller, kontraktor dari Activision, hanya 10 persen gamer yang benar-benar menyelesaikan game yang mereka beli. Ini berarti hanya 1 dari 10 gamer saja yang mampu melakukannya. Fuller menyatakan bahwa sebagian besar dari mereka akan merujuk pada situs Youtube untuk melihat ending secara langsung. John Lee, mantan petinggi perusahaan gamer seperti Capcom dan THQ juga mendukung fakta ini. Bahkan menurutnya, penurunan yang terjadi cukup drastis. 10 tahun yang lalu, masih ada 20% gamer yang masih mampu menamatkan game yang mereka beli. Apa yang sebenarnya terjadi?
Ada banyak faktor yang menyebabkan “penurunan kualitas” ini dan biasanya datang dari berbagai sumber yang bergerak di dalam industri game: developer, social media, hingga sikap kita sendiri sebagai seorang gamer. Persaingan yang diperlihatkan oleh para developer membuat banyak game dirilis dalam waktu yang sangat dekat. Akibat terburuknya adalah proses kanibalisasi yang terbentuk secara otomatis. Game baru yang lebih baik akan menarik gamer secara langsung, membuat mereka meninggalkan game yang baru saja mereka mainkan tanpa pernah menamatkannya. Proses ini terjadi terus berulang.
Begitu banyaknya “media hiburan” lain juga dipandang menjadi alasan utama. Dengan hadirnya situs jejaring sosial, situs video, straming film, blog, hingga perangkat smartphone yang menemani hidup kita sehari-hari, kompleksitas “hidup” seringkali membuat kita melupakan game itu sendiri. Game terpelanting dari “tugas utama” yang harus dikerjakan dan dibiarkan terbengkalai. Hal ini semakin diperparah ketika gamer mulai masuk dalam usia dewasa dan punya begitu banyak tanggung jawab kehidupan yang lain, terutama keluarga. Percaya atau tidak, penelitian mengemukakan bahwa usia rata-rata gamer di seluruh dunia adalah 37 tahun, usia dimana manusia biasanya mengemban banyak tugas hidup yang berat.
Fenomena dunia online juga diterangai menjadi salah satu pencetus fenomena yang mengkhawatirkan ini. Banyak gamer yang membeli sebuah game untuk merasakan atmosfer permainan multiplayer online nya dan bukan mode campaign yang ditawarkan oleh para developer. Banyak gamer di luar negeri yang melakukan hal ini. Tidak heran jika mereka sangat berkontribusi besar untuk angka 90% ini.

Melihat fakta menyedihkan ini, para developer mulai mencari akal untuk mengatasinya. Mereka tentu saja tidak ingin hasil kerja keras dan dana super besar yang telah mereka keluarkan untuk membangun dan mewujudkan sebuah konsep tidak diapresiasi. Terlepas dari uang yang mampu mereka hasilkan atau tingkat penjualan yang bisa diraih, para developer masih memandang penting gamer untuk dapat menyelesaikan game yang mereka kerjakan. Solusi terbaik yang bisa dipikirkan adalah dengan memperpendek waktu permainan. Tujuannya? Agar para gamer dapat menamatkan game dalam sela-sela kesibukan aktivitas mereka yang padat. Kualitas game akan ditentukan dari padatnya plot dan gameplay yang ditawarkan, bukan seberapa panjang ia harus diselesaikan.
Sayangnya belum ada kepastian apakah hal ini juga terjadi di gamer-gamer Indonesia. Namun alasan bahwa kita seringkali meninggalkan sebuah game untuk game baru yang lebih baik tampaknya menjadi penyebab yang paling masuk akal, berhubung harga game bajakan di sini memang terjangkau. Apapun alasan yang dihadirkan, hal ini memang harus diakui mengkhawatirkan. Dimanakah prestige dan pride yang sempat dimiliki gamer masa lalu ketika berhasil menamatkan sebuah game? Dimanakah kerja keras. Komitmen, dan waktu-waktu tanpa tidur itu? Tampaknya kesibukan dunia benar-benar memangsa identitas kita, bahkan menjauhkan kita dari apa yang kita cintai.
Bagaimana dengan Anda sendiri? Apakah Anda termasuk 1 dari 10 gamer yang mampu menyelesaikan game yang Anda beli?
Source : CNN














