Menyaksikan Sejarah Jerman Melalui The Baader Meinhof Complex
Jika berbicara tentang Jerman, kita tidak bisa melepaskan pandangan kita tentang sejarah panjang Jerman, mulai dari sepak-terjang mantan pemimpin besar mereka yang terkenal di seluruh dunia hingga perang saudara dan serangkaian pemberontakan yang terjadi di dalam tubuh negara itu sendiri. Jerman memang selalu fenomenal. Itulah alasan mengapa banyak buku sastra dan non-fiksi, serta film yang mengangkat konflik yang terjadi di negara tersebut dari berbagai sudut pandang.
Salah satunya adalah buku nonfiksi karya Stefan Aust, seorang jurnalis Jerman yang berjudul Der Baader Meinhof Komplex (The Baader Meinhof Complex) (1985) yang memaparkan peristiwa yang terjadi di Jerman Barat dalam rentang waktu akhir tahun 60-an hingga akhir tahun 70-an. Aust memfokuskan pembahasannya mengenai fenomena kemunculan sebuah kelompok ekstremis sayap kiri yang menamakan diri mereka Rote Armee Fraktion (Red Army Faction) (RAF) yang menimbulkan serangkaian teror bagi pemerintah, pejabat, dan petinggi swasta yang dianggap “tidak membela rakyat”.

Kebrutalan yang dilakukan RAF sempat memorak-porandakan Jerman, membuat pemerintah mengejar mereka hingga 20 tahun setelahnya, yang kemudian mereda dengan sendirinya setelah kelompok tersebut membubarkan diri di tahun 90-an. Peristiwa mengenai pemberontakan RAF inilah yang ingin diangkat ke layar lebar oleh sutradara Uli Edel.
Berkiblat kepada buku karya Aust, Uli merekonstruksi ulang peristiwa pemberontakan tersebut melalui media visual, menggandeng beberapa bintang kenamaan Jerman, seperti Martina Gedeck, Johanna Wokalek, Moritz Bleibtreu, dan Stipe Erceg. Uli memulai film ini di tahun 1967, saat semuanya dimulai: kunjungan Pangeran Iran, Muhammad Reza Pahlavi, ke Jerman Barat yang diwarnai protes dari mahasiswa Jerman yang diakhiri dengan bentrokan, menyebabkan salah satu mahasiswa, Benno Ohnesorg, meninggal akibat ditembak di kepala oleh polisi. Peristiwa inilah yang menjadi pemicu munculnya beberapa organisasi sayap kiri, salah satunya RAF.

Ulrike Meinhof (Martina Gedeck), adalah salah satu jurnalis yang menyoroti tindakan pemerintah dan kerap menulis artikel-artikel tajam mengenai kebobrokan pemerintah. Terkesan dengan tulisan Meinhof, Gudrun Ensslin (Johanna Wokalek) meninggalkan keluarga kecilnya, bergabung bersama Andreas Baader (Moritz Bleibtreu) untuk “memberikan pelajaran” kepada pemerintah yang mereka anggap sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bersama beberapa orang lainnya, Ensslin dan Baader menyatukan misi bersama Meinhof untuk melawan dan menyerang pemerintah dan para petinggi negara.
Gerakan yang dilakukan Baader-Meinhof-Ensslin dianggap sebagai bentuk terorisme brutal yang merugikan para pejabat berkerah putih. Mereka merampok bank dan meledakkan gedung-gedung pemerintahan—yang sering kali menelan korban tidak berdosa, sebagai bentuk kebencian terhadap birokrasi yang berjalan di negara mereka. RAF generasi pertama “bergerak” hingga akhir tahun 70-an, diakhiri dengan kematian tiap anggotanya dalam sel masing-masing yang hingga saat ini masih diragukan sebabnya, yang menimbulkan teori konspirasi. Pascakematian Meinhof, Baader, dan Ensslin, RAF generasi kedua semakin membabi buta, melakukan serangkaian kegiatan teror yang lebih berbahaya dari yang pernah dilakukan RAF generasi pertama.

Visualisasi yang Otentik
Bagi sebagian besar orang, menyaksikan film yang mengangkat kisah sejarah adalah kenikmatan tersendiri. Jika Anda salah satu penyuka film sejarah, saya sangat menyarankan untuk menyaksikan film ini. Dibuat berdasarkan buku yang ditulis oleh saksi sejarah peristiwa tersebut—Stefan Aust merupakan teman Ulrike Meinhof yang membantu mengungsikan anak-anak Meinhof ke tempat yang aman, jauh dari tangan-tangan yang ingin mencelakai Meinhof dan keluarganya karena tulisan-tulisan kontroversialnya, film ini menampilkan kisah sejarah yang otentik namun memberikan angle yang berbeda dari pandangan masyarakat pada umumnya.
Di film ini, RAF tampak seperti pihak protagonis yang memperjuangkan keadilan dan pembenahan birokrasi di tubuh pemerintah dan menjadi salah satu kelompok yang menjerit ketika melihat perang Vietnam meletus. Mereka juga berteriak “TIDAK” untuk imperialisme. Sebuah sudut pandang yang sangat menarik, membuat penonton dapat mengenal RAF lebih dekat, dan memahami korelasi antara seluruh rentetan peristiwa yang terjadi dengan aksi pemberontakan yang mereka lakukan. Bahkan, bagi para saksi sejarah, atau pihak yang pernah menjadi korban langsung RAF, film ini dianggap berhasil merepresentasikan sepak-terjang RAF di masanya.

Tak heran jika film ini menjadi nominasi “Best Foreign Language Film” di 81st Academy Awards dan Golden Globe Awards. Film ini dikemas layaknya film Eropa pada umumnya dengan gaya yang khas: alur lambat, pergantian adegan yang cukup cepat, dan dialog yang berbobot. Bagi Anda yang terbiasa dengan film Hollywood yang khas dengan alurnya yang cepat, menyaksikan film ini—dan sebagian besar film Eropa—memang membutuhkan konsentrasi dan perjuangan yang cukup besar. Namun, bagi saya pribadi, semua itu worth it untuk dilakukan mengingat film ini memang memiliki kualitas yang tidak main-main, baik dari segi penyutradaraannya, kualitas pemainnya, sampai setting-nya.
Tanggal rilis:
25 September 2008 (Jerman)
Genre:
action
Durasi:
150 menit
Sutradara:
Uli Edel
Pemain:
Moritz Bleibtreu, Martina Gedeck, Johanna Wokalek, Stipe Erceg, Simon Licht, Alexandra Maria Lara, Bruno Ganz
Studio:
Constantin Films














