[Review] Alex Cross: Pertarungan Sengit Psikolog vs Psikopat

Jika Anda penggemar serial drama kriminal, pastinya Anda pernah mendengar film Criminal Minds. Keindahan serial itu terletak di penggabungan kasus-kasus kriminal dengan analisis kondisi psikologis sang pelaku. Penulis kawakan James Patterson menciptakan serial novel dengan tokoh protagonis bernama Alex Cross. Alex adalah seorang detektif yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi. Dua bumbu yang sama—kriminal dan psikologi—pun menyatu dalam serial novel tersebut.
Tahun ini, industri perfilman kedatangan film adaptasi berjudul Alex Cross yang digarap oleh Rob Cohen. Ini merupakan ketiga kalinya karakter ciptaan James Patterson itu menghiasi layar lebar setelah film Kiss the Girls (1997) dan Along Came a Spider (2001) yang dibintangi Morgan Freeman. Namun, karakter Alex Cross kali ini tidak lagi diperankan aktor senior tersebut, melainkan oleh Tyler Perry yang namanya melejit dalam film Diary of a Mad Black Woman. Ia pun berhasil meraih beragam penghargaan berkat film yang dirilis pada tahun 2005 itu. Apakah Perry berhasil menunjukkan kemampuan aktingnya dalam Alex Cross?

Perbedaan Alex Cross dengan dua film sebelumnya membentang lebih jauh dari sekadar bintang yang memerankannya. Film ketiga yang mengangkat karakter kesayangan Patterson itu ternyata tidak sepenuhnya diadaptasi dari salah satu novelnya. Walaupun memiliki kemiripan dengan novel Cross, sejumlah detail dalam cerita mengalami perubahan.
Picasso, sang pembunuh

Di tengah masa kehamilan istrinya, Cross terjerumus ke dalam sebuah investigasi berbahaya yang melibatkan seorang pembunuh misterius yang mendapat sebutan Picasso (Matthew Fox). Sebutan itu muncul lantaran sang pembunuh gemar meninggalkan sketsa yang menggambarkan kesengsaraan korbannya selama disiksa.
Setelah berhasil memecahkan teka-teki sasaran berikutnya, Cross bersama mitranya Tommy Kane (Edward Burns) dan Monica Ashe (Rachel Nichols) berusaha menggagalkan misi Picasso. Walaupun Cross juga berhasil menganalisis kondisi psikologis musuh barunya, tanpa sepengetahuannya pembunuh berdarah dingin itu telah menetapkan ketiga detektif sebagai sasaran. Perburuan dan penyiksaan pun dimulai!

Sayangnya bagi Cross, penyiksaan yang dihadirkan Picasso menguji batas moral dan kewarasannya sebagai seorang penegak hukum. Seperti apa penyiksaan yang dimaksud? Siapa dalang di balik kemunculan Picasso? Apa respons Cross terhadap serangan-serangan yang dilancarkan Picasso? Siapa yang akan menang dalam pertarungan psikolog vs psikopat itu?
Indonesia dan GM menghiasi kehambaran cerita
Sebelum menyelami pengalaman menonton Alex Cross, mari kita lihat sebagian film garapan Cohen sebelumnya. Para penggemar mobil pasti ingat dengan The Fast and the Furious, penggemar cerita militer menonton Stealth, dan penggemar aksi urakan seorang agen rahasia mengenal xXx. Walaupun tidak bisa dibilang spektakuler, ketiga film garapan Cohen itu cukup menghibur. Sayangnya, saya tidak bisa mengatakan hal yang sama mengenai Alex Cross.

Perpaduan antara tokoh protagonis berlatar belakang psikologi dengan pembunuh profesional yang memiliki gangguan kejiwaan mengandung daya tarik tersendiri bagi saya. Ketertarikan itu perlahan memudar seiring berjalannya film. Landasan cerita terasa lemah, apalagi dengan sejumlah adegan yang terkesan dipaksakan untuk menyambungkan peristiwa-peristiwa penting seputar sepak terjang sang tokoh utama. Adegan-adegan tersebut berisi dialog singkat dengan karakter yang perannya hampir sama seperti cameo. Selain itu, beberapa adegan juga direkam dengan efek kamera gemetar yang menghasilkan efek mengganggu. Meskipun demikian, naskah yang ditulis oleh Marc Moss dan Kerry Williamson menyimpan plot twist yang cukup mengejutkan.
Di samping landasan cerita, akting para pemerannya pun kurang prima. Pengecualian harus dibuat untuk Fox, karena akting aktor Vantage Point itu justru terlihat terlalu prima, alias overdosis. Penggambaran Picasso kerap terlihat terlalu dramatis dan membayangi akting pemeran lainnya. Cukup disayangkan dengan nama-nama aktor seperti Perry, Fox, Burns (Man on a Ledge), dan Jean Reno (The Da Vinci Code), eksekusi cerita Alex Cross tidak berhasil mengilik emosi saya.


Walaupun saya menunjukkan poin-poin buruk dari Alex Cross, bukan berarti film tersebut dihadirkan tanpa nilai positif. Selain kombinasi antara karakter pembunuh profesional dan unsur psikologi, suntikan nama dan pemandangan otentik Indonesia menjadi hiburan yang mengundang tawa, bahkan unsur itu menjadi bagian integral dalam cerita. Tidak bisa dilupakan juga kehadiran jajaran mobil produksi General Motors, termasuk Cadillac CTS dan Chevrolet Camaro, yang menjadi pemanis pemandangan di luar hadirnya Nichols (G.I. Joe: The Rise of Cobra).
Tanggal rilis:
19 Oktober 2012 (AS)
Genre:
Laga, kriminal, misteri
Durasi:
101 menit
Sutradara:
Rob Cohen
Pemeran:
Tyler Perry, Matthew Fox, Edward Burns, Rachel Nichols
Studio:
QED International, Envision Entertainment Corporation













