Banyak Pertentangan, AI Malah Jadi Mata Pelajaran di Sekolah Seni ini
Siapa yang menyangka bahwa sebuah sekolah seni bisa menawarkan sertifikat sarjana di bidang kecerdasan buatan? Ringling College of Art and Design di Florida baru-baru ini meluncurkan program Sertifikat Sarjana Kecerdasan Buatan (AI) yang pertama dari institusi seni. Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, mengingat sekolah seni biasanya dikenal dengan fokus pada kreativitas manusia, bukan teknologi.

Lewat program baru ini, mahasiswa menyelesaikan tiga kelas yang secara khusus fokus pada AI, termasuk kursus dasar dan teknik AI yang diterapkan pada berbagai disiplin seni. Rick Dakan, yang ditunjuk sebagai Koordinator AI di Ringling, berusaha meyakinkan mahasiswa bahwa AI bukan untuk menggantikan mereka, melainkan untuk membantu mereka “menaikkan standar” sebagai profesional kreatif. Namun, pernyataan ini tampaknya belum cukup meyakinkan para kritikus.
Baca Juga: NVIDIA Bakal Pamer Sejumlah Inovasi AI Terbaru di Hot Chips 2024 • Jagat Review
Sementara itu Di Indiana University, kursus “AI in the Studio” yang diluncurkan pada tahun 2023 juga menjadi pembicaraan. Dalam kursus ini, mahasiswa didorong untuk mengeksplorasi kekurangan AI dan menggunakan kelemahan tersebut untuk memperkuat keahlian mereka sebagai seniman. Hasilnya? Beberapa karya seni yang dihasilkan malah lebih mirip satir terhadap kemampuan AI, lengkap dengan kesalahan dan kegagalan yang, menurut para mahasiswa terlihat “menggelikan.”
Pro Kontra Soal Etika dan Hak Cipta Seni AI
Namun, di balik semua inovasi ini, muncul pertanyaan serius tentang etika. Yang pasti terkait masalah hak cipta yang menjadi semakin abu-abu dengan kehadiran AI dalam dunia seni, yang bahkan juga disoroti oleh pengajar di Indiana University itu sendiri.
Molly Crabapple, seorang ilustrator dari New York, dengan tegas mengkritik bahwa program-program AI semacam ini lebih menguntungkan institusi akademik daripada seniman itu sendiri. Menurutnya, siapa pun bisa menggunakan AI tanpa harus masuk ke sekolah seni dan berutang besar.

Dalam konteks yang lebih luas, Crabapple berpendapat bahwa seniman seharusnya melawan tren AI ini dengan menstigmatisasi penggunaannya, bukan dengan mencoba bersaing langsung dengan alat generatif. Tanggapan ini tentu menambah opini baru pada debat tentang peran AI dalam seni dan pendidikan seni.
Di samping itu, para pengajar di Indiana University juga menekankan pentingnya transparansi. Mereka mendesak mahasiswa untuk selalu mengakui penggunaan AI dalam karya mereka agar tidak disalahartikan sebagai hasil karya individu semata. Namun, dengan semakin banyaknya institusi yang mengadopsi AI dalam kurikulum seni, banyak yang bertanya-tanya: Apakah ini masa depan seni, atau hanya tren yang akan berlalu?















